Kamis, 03 Juli 2008

Kurenggut Si5wi Sang Primadona Itu

Hari telah senja awan mendung pun mulai menyelimuti kota metropolitan ini membuat suasana semakin gelap, disaat itu di sebuah SMU Negeri terkenal dikota itu nampak gadis-gadis membubarkan diri dari sebuah ruang aula olahraga. Mereka mengakhiri latihan rutin paduan suaranya. Tawa dan canda khas gadis-gadis SMU mengiringi mereka bubar, satu demi satu mereka keluar dari halaman sekolah yang telah gelap itu. Sementara itu suara gunturpun terdengar pertanda hujan akan segera turun. Ada yang dijemput oleh orangtuanya, adapula yang membawa mobil pribadi, dan ada juga yang menggunakan angkutan umum.

Aku sangatlah hafal dengan aktifitas anak-anak SMU ini, karena memang sudah hampir sebulan ini aku bekerja sebagai tukang cat disekolah ini. Usiaku memang sudah tidak muda lagi, saat ini aku berusia 48 tahun. Aku adalah seorang duda, istriku sudah lama minggat meninggalkanku setelah mengetahui aku tengah melakukan hubungan intim dengan keponakannya. Reputasiku sebenarnya lebih banyak didunia hitam, dulu aku dikenal sebagai seorang germo yang aku sambi dengan berdagang ganja. Namun beberapa bulan yang lalu semua para wanita yang aku jajakan terkena razia dan kemudian bisnis ganjaku hancur setelah kurir yang biasa membawa ganja ditembak mati oleh aparat.

Di sekolah ini aku tidaklah sendirian aku masuk bekerja dengan sahabatku yang bernama Charles yang seorang residivis kambuhan. Usianya tidak begitu jauh denganku yaitu 46 th, perawakannya tinggi besar rambutnya panjang dan kumal. Kami berdua sengaja hidup berpindah-pindah tempat. Kami bukanlah pekerja tetap di sekolah ini, kami hanya mendapat order untuk mengerjakan pengecatan kusain-kusain pintu-pintu kelas disekolah ini. Kami tidak dibayar mahal namun kami memiliki kebebasan untuk tinggal dilingkungan sekolah ini. Maklumlah kami adalah perantau yang hidup nomaden. Diantara gadis-gadis tadi, ada salah seorang yang paling menonjol. Aku sangatlah hafal dengannya. Karena memang dia cantik, lincah dan aktif dalam kegiatan sekolah, sehingga akupun sering melihat dia mondar-mandir di sekolahan ini.

Adinda Wulandari namanya. Postur tubuhnya mungil, wajahnya cantik dan imut-imut, kulitnya putih bersih serta wangi selalu, rambutnya ikal panjang sebahu dan selalu diikat model ekor kuda. Penampilannyapun modis sekali, seragam sekolah yang dikenakannya selalu berukuran ketat, rok seragam abu-abunya berpotongan sejengkal diatas lutut sehingga pahanya yang putih mulus itu terlihat, ukuran roknyapun ketat sekali membuat pantatnya yang sekal itu terlihat menonjol, sampai-sampai garis celana dalamnyapun terlihat jelas melintang menghiasi lekuk pantatnya, tak lupa kaos kaki putih selalu menutupi betisnya yang putih mulus itu.

Tidak bisa kupungkiri lagi aku tengah jatuh cinta kepadanya. Namun perasaan cintaku kepada Adinda lebih didominasi oleh nafsu sex semata. Gairahku memuncak apabila aku memandanginya atau berpapasan dengannya disaat aku tengah bekerja di sekolah ini. Ingin aku segera meyetubuhinya. Banyak sudah pelacur-pelacur kunikmati akan tetapi belum pernah aku menikmati gadis perawan muda yang cantik dan sexy seperti Adinda ini. Aku ingin mendapatkan kepuasan itu bersama dengan Adinda. Informasi demi informasi kukumpulkan dari orang-orang disekolah itu, dari penjaga sekolah, dari tukang parkir, dari karyawan sekoah. Dari merekalah aku mengetahui nama gadis itu. Dan dari orang-orang itupun aku tahu bahwa Adinda adalah seorang siswi yang duduk di kelas 2, umurnya baru 16 tahun. Beberapa saat yang lalu dia merayakan hari ulang tahunnya yang ke-16 di kantin sekolah ini bersama teman-temannya sekelas. Diapun termasuk siswi yang berprestasi, aktif dalam kegiatan paduan suara dan paskibra disekolah ini. Dan yang informasi terakhir yang kudapat bahwa dia ternyata adalah salah seorang finalis foto model yang diselenggarakan oleh sebuah majalah khusus untuk remaja putri terkenal di negeri ini dan bulan depan dia akan mengikuti seleksi tahap akhir.

Kini disaat sekolah telah sepi salah satu dari gadis-gadis anggota paduan suara tadi itu tengah merintih-rintih dihadapanku. Dia adalah gadis yang terakhir kalinya masih tersisa didalam sekolah ini, yang sedang asyik bercanda ria dengan temannya melalui HP-nya, semetara yang lainnya telah meninggalkan halaman sekolah. Beberapa menit yang lalu melalui sebuah pergulatan yang tidak seimbang aku telah berhasil meringkusnya dengan mudah, kedua tangannya kuikat dengan kencang kebelakang tubuhnya, dan mulutnya kusumpal dengan kain gombal. Setelah itu kuseret tubuhnya ke bangsal olahraga yang berada di bagian belakang bangunan sekolah ini.

Tidak salah salah lagi gadis itu adalah Adinda Wulandari, gadis cantik sang primadona sekolah ini yang telah lama kuincar. Aku sangat hafal dengan kebiasaannya yaitu menunggu jemputan supir orang tuanya dikala selesai latihan sore dan sang supir selalu terlambat datang setengah jam dari jam bubaran latihan. Sehingga dia paling akhir meninggalkan halaman sekolah. Kini dia meringkuk dihadapanku, dengan tangisannya yang teredam oleh kain gombal yang kusumpal di mulutnya. Sepertinya dia memohon-mohon sesuatu padaku tetapi apa peduliku, air matanya nampak mengalir deras membasahi wajahnya yang cantik itu. Sesekali nampak dia meronta-ronta mencoba melepaskan ikatan tali tambang yang mengikat erat di kedua tangannya, namun sia-sia saja, aku telah mengikat erat dengan berbagai simpul.

Posisinya kini bersujud dihadapanku, tangisannya kian lama kian memilukan, aku menyadari sepenuhnya bahwa dia kini tengah berada dalam rasa keputusasaan dan ketakutan yang teramat sangat didalam dirinya. Kunyalakan sebatang rokok dan kunikmati isapan demi isapan rokok sambil kutatap tajam dan kupandangi tubuh gadis cantik itu, indah nian tubuhnya, kulitnya putih bersih, pantatnya sekal berisi. Kunikmati rintihan dan tangis gadis cantik yang tengah dilanda ketakutan itu, bagai seseorang yang tengah menikmati alunan musik didalam ruangan sepi. Suara tangisnya yang teredam itu memecahkan kesunyian bangsal olahraga di sekolah yang tua ini. Sesekali dia meronta-ronta mencoba melepaskan tali ikatan yang mengikat kedua tangannya itu.

Lama kelamaan kulihat badannya mulai melemah, isak tangisnya tidak lagi sekeras tadi dan sekarang dia sudah tidak lagi meronta-ronta mungkin tenaganya telah habis setelah sekian lamanya menagis meraung-raung dengan mulutnya yang telah tersumbat. Sepertinya didalam hatinya dia menyesali, kenapa Heru supirnya selalu terlambat menjemputnya, kenapa tadi tidak menumpang Desy sahabat karibnya yang tadi mengajaknya pulang bareng, kenapa tadi tidak langsung keluar dari lingkungan sekolah disaat latihan usai, kenapa malah asyik melalui HP bercanda ria dengan Fifi sahabatnya. Yah, semua terlambat untuk disesali pikirnya, dan saat ini sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada dirinya.

“Beres Yon…, pintu pagar depan sudah gue tutup dan gembok”, terdengar suara dari seseorang yang tengah memasuki bangsal.
Ternyata Charles dengan langkah agak gontai dia menutup pintu bangsal yang mulai gelap ini.
“OK…sip, gue udah beresin nih anak, tinggal kita pake aja…”, ujarku kepada Charles sambil tersenyum.
Kebetulan malam ini Pak Parijan sang penjaga sekolah beserta keluarganya yang tinggal di dalam lingkungan sekolah ini yaitu sedang pulang kampung, baru besok lusa mereka kembali ke sekolah ini. Mereka langsung mempercayakan kepada kami untuk menjaga sekolah ini selama mereka pergi. Maka tinggallah kami berdua bersama dengan Adinda yang masih berada didalam sekolah ini. Pintu gerbang sekolah telah kami rantai dan kami gembok sehingga orang-orang menyangka pastilah sudah tidak ada aktifitas atau orang lagi didalam gedung ini. Pak Heru sang supir yang menjemput Adinda pastilah berpikiran bahwa Adinda telah pulang, setelah melihat keadaan sekolah itu.

Kupandang lagi tubuh Adinda yang lunglai itu, badannya bergetar karena rasa takutannya yang teramat sangat didalam dirinya. Hujanpun mulai turun, ruangan didalam bangsal semakin gelap gulita angin dinginpun bertiup masuk kedalam bangsal itu, Charles menyalakan satu buah lampu TL yang persis diatas kami, sehingga cukup menerangi bagian disekitar kami saja. Kuhisap dalam-dalam rokokku dan setelah itu kumatikan. Mulailah kubuka bajuku satu per satu, hingga akhirnya aku telanjang bulat. Batang kemaluanku telah lama berereksi semenjak meringkus Adinda di teras sekolah tadi.
“Gue dulu ya….”, ujarku ke Charles.
“Ok boss….”, balas Charles sambil kemudian berjalan meninggalkan aku keluar bangsal.

Kudekati tubuh Adinda yang tergolek dilantai, kuraba-raba punggung gadis itu, kurasakan detak jantungnya yang berdebar keras, kemudian tanganku turun hingga bagian pantatnya yang sekal itu, kuusap-usap pantatnya dengan lembut, kurasakan kenyal dan empuknya pantat itu sambil sesekali kutepok-tepok. Badan Adinda kembali kurasakan bergetar, tangisnya kembali terdengar, sepertinya dia kembali memohon sesuatu, akan tetapi karena mulutnya masih tersumbat suaranyapun tidak jelas dan aku tidak memperdulikannya. Dari daerah pantat tanganku turun kebawah kedaerah lututnya dan kemudian menyelinap masuk kedalam roknya serta naik keatas kebagian pahanya. Kurasakan lembut dan mulus sekali paha Adinda ini, kuusap-usap terus menuju keatas hingga kebagian pangkal pahanya yang masih ditutupi oleh celana dalam.

Karena sudah tidak tahan lagi, kemudian aku posisikan tubuh Adinda kembali bersujud, dengan kepala menempel dilantai, dengan kedua tangannya masih terikat kebelakang. Aku singkapkan rok seragam abu-abu SMUnya sampai sepinggang.
“Waw indah nian….gadis ini” gunamku sambil melototi paha dan pantat sekal gadis ini.
Kemudian aku lucuti celana dalamnya yang berwarna putih itu, terlihatlah dua gundukan pantat sekal gadis ini yang putih bersih. Sementara Adinda terus menagis kini aku memposisikan diriku berlutut menghadap ke pantat gadis itu, kurentangkan kedua kakinya melebar sedikit. Dengan jari tengahku, aku coba meraba-raba selangkangan gadis ini. Disaat jari tengahku menempel pada bagian tubuhnya yang paling pribadi itu, tiba-tiba tubuh gadis ini mengejang. Mungkin saat ini pertama kali kemaluannya disentuh oleh tangan seorang lelaki. Disaat kudapatkan bibir kemaluannya kemudian dengan jariku itu, aku korek-korek lobang kemaluannya. Dengan maksud agar keluar sedikit cairan kewanitaannya dari lobang kemaluannya itu. Tubuhnya seketika itu menggeliat-geliat disaat kukorek-korek lobang kemaluannya, suara desahan-desahanpun terdengar dari mulut Adinda, tidak lama kemudian kemaluannya mulai basah oleh cairan lendir yang dikeluarkan dari lobang vaginanya.

Setelah itu dengan segera kucabut jari tengahku dan kubimbing batang kemaluanku denga tangan kiriku kearah bibir vagina Adinda. Pertama yang aku pakai adalah gaya anjing, ini adalah gaya favoritku. Dan…
”Hmmmpphhhh……”, terdengar rintihan dari mulut Adinda disaat kulesakkan batang kemaluanku kebibir vaginanya.
Dengan sekuat tenaga aku mulai mendorong-dorong batang kemaluanku masuk kelobang kemaluannya. Rasanya sangat seret sekali, karena sempitnya lobang kemaluan gadis perawan ini. Aku berusaha terus melesakkan batang kemaluanku kelobang kemaluannya dengan dibantu oleh kedua tanganku yang mencengkram erat pinggulnya. Kulihat badan Adinda mengejang, kepala mendongak keatas dan sesekali menggeliat-geliat. Aku tahu saat ini dia tengah merasakan sakit dan pedih yang tiada taranya.

Keringat terus mengucur deras membasahi baju seragam sekolahnya, namun harum wangi parfumnya masih terus tercium, membuat segarnya aroma Adinda saat itu, rintihan-rintihan terdengar dari mulutnya yang masih tersumpal itu.
“Hmmmmppphh….mmmppphh….gghhhhmmmpphhh….”.
Dan akhirnya setelah sekian lamanya aku terus melesakkan batang kemaluanku, kini bobol sudah lobang kemaluan Adinda. Aku telah berhasil menanamkan seluruh batang kemaluanku kedalam lobang vaginanya. Kurasakan kehangatan disekujur batang kemaluanku, dinding vagina Adinda terasa berdenyut-denyut seperti mengurut-urut batang kemaluanku. Sejenak kudiamkan batang kemaluanku tertanam didalam lobang vaginanya, kunikmati denyutan-demi denyutan dinding vagina Adinda yang mencengkram erat batang kemaluanku. Selanjutnya kurasakan seperti ada cairan mengucur mengalir membasahi batang kemaluanku dan kemudian meluber keluar menetes-netes. Ah…ternyata itu darah, berarti aku telah merenggut keperawanan dari gadis cantik ini.

Sementara itu kepala Adinda kembali tertunduk dilantai, desah nafasnya terdengar keras, badannya melemas. Setelah itu, aku mulai memompakan kemaluanku didalam lobang vaginanya. Kedua tanganku yang mencengkram erat pinggulnya juga membantu memaju mundurkan tubuhnya. Badan Adinda kembali tegang, rintihan kembali terdengar
“Hhmmmpphh….ggrrhhmm….mmmppphhh….”, seiring dengan irama sodokan-sodokanku.
Semakin lama aku semakin mempercepat gerakanku, hingga tubuh Adinda tersodok-sodok dengan cepat sesekali, badannya juga menggeliat-geliat. Raut mukanya meringis-ringis akibat rasa sakit diselangkangannya.

Hujanpun mulai turun dengan deras dan aku ingin menikmati rintihan-rintihan dari gadis ini. Sementara aku terus menyodok-nyodok dari belakang, aku putuskan untuk membuka gombal yang sedari tadi membekap mulutnya. Dan,
“Aakkk…akkkhh…oohh….ooh…iihh…oohh..”, suara erangan Adinda kini terdengar, kunikmati suara-suara itu sebagai penghantar diriku yang tengah menyetubuhi gadis ini.
Suaranya menggema diseluruh bangsal olahraga ini, namun masih tertelan oleh suara derasnya hujan diluar. Adinda semakin terlihat kepayahan, tubuhnya melemah namun aku masih terus menggenjotnya, gerakanku semakin cepat.

Bosan dengan posisi itu aku cabut kemaluanku dari lobang vaginanya dan kulihat darah berceceran membasahi selangkangannya dan kemaluanku. Sejenak Adinda mendesahkan nafas lega, kubalik tubuhnya, dan kini posisi dia terlentang. Setelah itu kurentangkan kedua kakinya dan kulipat hingga kedua pahanya menyentuh dadanya. Kulihat jelas kemaluan gadis ini, indah sekali. Bulu-bulunya yang masih jarang-jarang itu tumbuh menghias disekitar bibir kemaluannya.
“Ohh..jangann bang…ampun…bang…ooohh…sakittt sekali..bang”, terdengar Adinda merintih pelan memohon belas kasihan kepadaku.
Dengan menyeringai aku tindih tubuh Adinda itu. Kembali aku benamkan batang kemaluanku didalam lobang vaginanya.
“Aakkhh…”, Adinda terpekik matanya terpejam, roman mukanya kembali meringis kesakitan dikala aku menanamkan batang kemaluanku kedalam lobang kemaluannya.

Setelah itu aku kembali memompakan tubuhku, menggenjot tubuh Adinda. Batang kemaluanku dengan gaharnya mengaduk aduk, menyodok-nyodok lobang kemaluannya. Tubuh Adinda kembali tersodok-sodok. Sesekali kuputar-putar pinggulku, yang membuat tubuh Adinda kembali kelojotan, dari bibir Adinda terdengar desahan-desahan halus
“Ohh…enngghh…oohh…ohhh…oohh…”.
Setelah sekian menit lamanya aku menyetubuhinya, aku merasakan diriku akan berejakulasi. Segera kupeluk kepalanya dan kucengkram erat dengan kedua tanganku setelah itu irama gerakanku kupercepat.
“Aakkhhh…” akupun menejan, tubuhku mengeras. Croot…croottt….croott… akupun berejakulasi, kusemprotkan spermaku didalam rahimnya. Banyak sekali sperma yang kukeluarkan menyemprot membasahi liang vaginanya hingga meluber keluar meleleh membasahi pahanya.

Kulihat raut muka Adinda saat itu nampak panik, sinar matanya menunjukkan kekalahan dan kepedihan. Dengan tatapan sayu dia memandangiku disaat aku mengejan menyemprotkan spermaku yang terakhir. Ahh nikmat sekali gadis ini, baru kali ini aku merengut keperawanan seorang gadis kota yang cantik. Setelah itu akupun merebahkan tubuhku menindih tubuhnya yang lemah, sambil mengatur nafasku. Tubuhku berguncang-guncang akibat dari isakan-isakan tangisnya serta nafasnya yang tersengal-sengal, sementara itu kemaluanku kubiarkan tertanam didalam lobang kemaluannya.

Kubelai-belai rambutnya, kukecup-kecup pipi dan bibirnya.
“Terimakasih Adinda sayang….., kamu cantik sekali, terimakasih atas perawanmu”, bisikku sambil kucium dan kukulum bibirnya.
Terasa lembut sekali bibirnya, kumainkan lidahku didalam mulutnya, sejenak aku bercumbu mesra dengan Adinda. Dia hanya terisak-isak dengan nafas yang terus tersengal-sengal. Akhirnya kusudahi permainanku ini, aku bangkit sambil mencabut kemaluanku.
“Ouugghhhh….”, Adinda merintih panjang saat kutarik kemaluanku keluar dari lobang vaginanya.
Kulihat diselangkangannya telah penuh dengan cairan-cairan kental dan darah penuh membasahi bulu-bulu kemaluannya.

Tak kusadari Charles ternyata telah berdiri didekatku, dan rupanya dia telah telanjang bulat menunggu gilirannya, badannya yang kekar dan tinggi itu nampak semakin sangar dengan banyaknya gambar-gambar tatto yang menghiasi sekujur dada dan lengannya. Dengan rasa toleran sebagai seorang sahabat, akupun menyingkir dari tubuh Adinda yang tergolek lemas dilantai. Aku ambil jarak beberapa meter dari tubuh Adinda kemudian aku kembali merebahkan tubuhku. Dengan tiduran terlentang dilantai aku menggali kembali rasa nikmatku setelah melampiaskan nafsuku ke Adinda tadi.

Sedang asyik-asyiknya aku istirahat, terdengar olehku bunyi sesuatu,
“Srett…sreettt…sreett…brett..” diikuti oleh isak tangis Adinda yang terdengar kembali.
Setelah kuperhatikan, oh ternyata Charles dengan sebuah pisau cutter ditangannya tengah sibuk merobek-robek baju seragam Adinda. Dengan kasarnya Charles mencabik-cabik baju seragam putih Adinda, termasuk BH putih yang dikenalkannya. Dan akhirnya kini badan Adinda telah telanjang, kedua buah payudaranya yang tidak begitu besar kini terpampang jelas. Termasuk juga rok abu-abu yang melilit dipinggangnya setelah kusingkap tadi dirobek-robeknya, haya sepasang kaos kaki putih setinggi betisnya serta sepatu kets masih dikenakannya.
“Ouuhh…ammpuunn…bang…ampun…”, suara Adinda terdengar lirih memohon-mohon ampun ke Charles yang sepertinya tengah kalap kemasukan setan itu.
Setelah itu dengan gombal yang tadi menyumpal mulut Adinda, Charles membersihkan daerah selangkangan Adinda. Dengan sedikit kasar Charles mengusap-usap selangkangan Adinda sampai-sampai tubuh Adinda menggeliat-geliat.

Akupun kembali merebahkan tubuhku, mengatur nafasku serta kunyalakan sebatang rokok sebagai penghantar istirahatku. Sementara itu hujan diluar mulai reda, namun angin dingin terus berhembus masuk kedalam bangsal tempat pembantaian Adinda ini. Tiba-tiba semenit kemudian dikala aku sedang rebahan dan asyik-asyiknya menikmati rokokku. Terdengar olehku jerit Adinda yang memilukan
“Aaakkhhhhh……..”.
Akupun terbangun, kulihat dari asal suara itu. Ternyata Charles tengah menyodomi Adinda. Posisi Adinda kembali bersujud dengan kepala yang mendongak keatas, bola matanya terbelalak, wajahnya cantiknya terlihat miris sekali, mulutnya menganga membentuk huruf “O” dan Charles berada dibelakangnya tengah asyik menanamkan batang kemaluannya yang besar itu ke dalam lobang anus Adinda.
“Aakkhh….” Charlespun mendesah lepas tatkala dia berhasil menanamkan batang kemaluannya dilobang anus Adinda.
Setelah itu lubang anus Adinda dihujani sodokan-sodokan batang kemaluan Charles, Charles melakukannya dengan gerakan yang cepat dan kasar sampai-sampai tubuh Adinda terdorong-dorong dan tersodok-sodok dengan keras. Tidak ada suara rintihan lagi yang keluar dari mulut Adinda mungkin karena suara tertahan ditenggorokannya karena menahan rasa sakit yang amat sangat.

Pengalaman Pertama Bersama Nyai BLorong

Terus terang, semuanya terjadi secara tidak sengaja. Pada waktu itu aku membeli buku tentang indera ke-enam atau “bawah sadar”, tadinya sekedar iseng waktu berada di suatu toko buku. Inti buku itu mengajarkan begini. Kalau kita menginginkan sesuatu maka kita harus mencoba menvisualisasikannya.. Suatu saat apa yang kita visualisasikan itu akan terjadi, akan terlaksana. Mimpi? Bukan. Sebab untuk mencapai indera ke-enam seseorang justru tidak boleh tertidur, tetapi perlu menurunkan gelombang listrik di-otaknya dari gelombang beta menjadi alfa. Caranya? Gampang sekali.. Kita cukup memejamkan mata, membayangkan menuruni tangga spiral dengan minimal 10 gigi. Saat anda membayangkan ini, gelombang listrik di otak anda akan menurun frekuensinga dari 13 cycle atau lebih perdetik, menjadi 8-13 cycle per detik. Kelihatannya mudah tetapi butuh latihan, jadinya ya sukar.. He. He.. Nah di saat itulah kita memasuki bawah sadar (unconsciousness)

Apa keinginnan saya? Lha ini yang kurang ajar. Aku ingin nangkring di tubuh Nyai Elis (waktu muda panggilannya Neng Elis). Nyai Elis adalah ibu kostku. Kenapa Nyai? Pertama, kemungkinan hamil nol persen. Pada usia 48 tahun biasanya wanita sudah masuk masa menopause. Yang kedua, ditanggung bersih, sehat tak mungkin kena penyakit “kotor” seperti gonorrhoe, syphilis, HIV dsb. Yang ketiga, gratis tidak perlu bayar, karena sama-sama menikmati. Untuk wanita, bersebadan dengan orang usia lebih muda akan menambah hormon estrogen, hormon khas wanita. Kalau wanita kekurangan hormon ini akan menderita osteoporosis, yaitu tulang menjadi rapuh, mudah patah.

Meskipun sudah kepala empat, tapi jangan meremehkan kecantikannya. Wajah Nyai masih terlihat ayu. Kulit kuning langsat, tubuh langsing semampai. Secara legendaris, wanita sunda sangat rajin memelihara wajah dan tubuhnya. Mandi lulur sudah seperti prosedur tetap mingguan. Membedaki wajah dengan berbagai ramuan menjadi rutinitas harian. Itu sebabnya tidak hanya wajah dan tubuhnya yang mengesankan. Bau badannya juga sedap dengan aroma lembut. Lalu kalau mau tahu seperti siapa? Seperti siapa ya..? Nah kira-kira seperti itu.. Diana Lorenza, janda beranak satu dari Heru Kusuma.

Sudah tiga tahun aku tinggal di kost milik keluarga Padmadireja (suami Nyai Elis), pensiunan wedana di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Keluarga Pak Padma-Nyai Elis ini mempunyai putera dua orang, semua sudah berkeluarga dan tinggal di Jakarta. Tinggalah Bapak–Ibu semang kostku ini dibantu seorang PRT dan seorang supir. Semua karyawan ini pulang sore.

Sudah seminggu aku latihan meditasi, belum ada hasil. Tambah tiga hari lagi, meskipun hampir putus asa. Tiba-tiba.., pada hari ke sebelas..

Malam itu sudah pukul 10, pintu kamarku diketuk orang.

“Mas Agus.. Mas Agus”
“Ya.. Nyai”
“Tolong kerokin ibu sebentar ya..”

Pucuk dicinta, ulam tiba, burung dahaga, apem menganga.., hatiku berjingkrak bukan main.

“Sebentar Bu, saya ganti pakaian dulu”

Kamar-kamar yang dipakai kost letaknya di belakang rumah utama, dipisahkan oleh satu kebun kecil. Ada enam kamar, membentuk huruf U mengelilingi kebun. Masing-masing kamar berpenghuni satu orang. Kebetulan waktu itu masa liburan, namun karena aku harus mengejar “deadline” penyelesaian skripsi, terpaksa aku tidak dapat mudik. Hiya khan, masak sudah jadi mahasiswa PTN terkenal seantero dunia rela di-DO.

Singkat cerita aku sudah duduk di tepi tempat tidur di kamar Nyai. Duduk dengan bersimpuh, ya.. seperti “pengerok” professional itu. Badan Nyai dalam posisi tengkurap di depan saya. Punggungnya yang putih, mulus tanpa penutup apapun. Hanya tali BH sudah dilepas, tetapi buah dadanya masih sedikit terlihat, tergencet di bawahnya.. Leher Nyai terlihat jenjang, putih, dengan rambut yang panjang sampai ke pinggang, disibakkan ke samping. Punggung ke bawah ada sejenis kain sarung yang diikatkan sekenanya secara longgar. Ke bawah, kain itu hanya menutupi sampai lipatan lutut. Di bawahnya betis yang halus, kencang.

Wajah Nyai menghadap ke samping di mana saya duduk. Sesekali meraba lutut saya, entah apa maksudnya. Pemandangan ini mampu dan makin mengeraskan burungku yang sejak dari kamar tidurku mulai melongok, eh.. bangun menggeliat (Jawa: ngaceng). Dalam waktu 15 menit seluruh punggung Nyai sudah aku keroki. Suasana sekitar kamar hening, hanya degub jantungku yang makin mengeras.

Burungku, pelan tapi pasti makin menegang juga. Aku diam, Nyai juga demikian. Mau ngomong apa aku? Bicara tentang Pak Padma..? Ah sama aja bicara tentang kompetitor. Toh malam ini aku yang akan menjadi “Mas Padma”, akan menumbuk padi di lumbung Nyai. Mau ngomong anak-anak Nyai? Yang akan ditengok Pak Padma yang sore tadi berangkat? Ngapain toh sebentar lagi aku akan menganggap Nyai ini ibarat pacarku.

“Pinggangnya juga ya Mas..”
“Ya.. Ya.. Bu..”, jawabku seperti terbangun dari lamunan berahi.

Aku tarik kain yang menutupi pinggang Nyai. Ya ampun.. Rupanya Nyai sudah melepas celana dalamnya. Kini di depan mataku ada pemandangan yang.. Waduh.. Ada gambaran parit sempit di tengah tulang pinggang memanjang ke bawah.. Terus.. Ke bawah, berujung di satu celah sempit di antara dua bukit pantat yang putih padat.. Menggemaskan.. Aku bayangkan.. Apa yang ada di depan pantat itu..

Tiba-tiba Nyai membalikkan badannya..

“Depan ya Mas..”

Dengan mata terbelalak kaget, kini aku melihat pemandangan yang luar biasa, yang belum pernah kulihat selama 24 tahun berada di kolong langit. Seorang wanita dengan kulit langsat telanjang bulat, dengan lingkaran perut pinggang ramping, buah dada masih lumayan besar, meskipun sudah rebah ke samping. Di tengan buah dada yang ber “pola” tempurung, terlihat puting besar warna hitam dikelilingi area hitam kecoklatan.. Di bawah pusar ada rambut yang mula-mula jarang tetapi semakin ke bawah semakin lebat, sepeti gambaran menara “Eiffel” dengan ujung runcingnya menuju pusar.. Di pangkal tumbuhnya rambut terdapat gundukan vagina yang pinggir kiri dan kanannya tumbuh rambut, bak gambaran hutan kecil.. Ampun mana tahan.. Mau pecah rasanya penisku menahan tekanan akumulasi cairan di pembuluh darah penisku.

“Nyai Aku nggak tahan lihat begini..?”
“Maksudnya, Mas Agus sudah capai..?”
“Enggak Nyai.. Burung saya sudah.. Nggak bisa.. Nggak bisa.. Saya nggak tahan lagi..!”
“Lho, kok baru bilang sekarang.. Ayo naik..”, sambil berkata demikian tangan kanannya melambai, mempersilakanku menaiki perutnya..

Seperti kucing kelaparan, aku segera mengangkangi perut Nyai, aku mau mencium pipinya, lehernya, mau melumat bibirnya. Tetapi gerakanku membungkuk terganjal burungku yang keras dan sakit waktu tertekuk. Malah ketika kupaksakan dan terus tertindih perutku, pertahanan katupnya jebol. Karena tiba-tiba.., crut.. crut.. crut.. Dari burungku tersembur, memancar air mani, yang disertai rasa nikmat. Ejakulasi!! Semburan air maniku mengenai dada Nyai, leher dan perutnya.

Setelah menyembur, burungku sedikit kendur, aku peluk leher Nyai, aku kulum dengan berapi-api bibirnya. Rupanya Nyai merespons dengan penuh gairah juga. Aku gigit dengan lembut bibirnya, sesekali aku sedot lidahnya. Lima menit lamanya, baru aku tersadar.

“Maaf Nyai, air mani saya tadi..”
“Ah, nggak apa-apa, itu tandanya Mas Agus masih “jejaka ting-ting”, nanti sebentar juga bangun lagi.”, sambil berkata demikian, Nyai mencium lagi bibirku. Tentu saja aku membalasnya dengan lebih bernafsu.

Kecuali bibirku melumat bibir Nyai, tanganku juga meraba buah dada Nyai. Memang sudah tidak gempal, tapi masih “berisi” 80 persen. Kedua tanganku masing-masing meraba, memeras-meras, memilin-milin puting Nyai. Kadang saking gemasnya cengkeraman tanganku ke buah dadanya agak keras, menyebabkan Nyai meringis menggeliat. Begitu juga bila puting Nyai aku pilin agak kuat, nyai bereaksi..

“Enak, enak.. Tapi sakit Mas.. Jangan keras-keras.. Yang (maksudnya Sayang)..”

Tanpa terasa saat aku menggulati tubuh Nyai, mendekami dada, perut, menekan vagina Nyai dengan penisku, terasa burungku mulai menggeliat lagi. Makin lama makin keras.

“Nyai.. Burung saya.. Nyai mau.. Lagi..?”
“Nah, apa khan.. saya bilang, ayo.. lagi, tapi ‘ntar.. Yang, aku bersihkan badanku dulu ya.. ya..”

Nyai masuk ke kamar mandi dalam di ruang tidur. Keluar dari kamar rambutnya terlihat sedikit basah, sebagian terjurai di lengan. Ya.. Tuhan.. Cantik sekali dewi ini..

Aku pun juga masuk juga ke kamar mandi, membersihkan bagian badan yang terkena air mani. Keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang bulat, terlihat burungku tegak, keras mendongak ke atas membentuk sudut 45 derajat dengan garis horizontal. Batangnya besar, warna kehitaman dengan tonjolan pembuluh darah membujur, sebagian melintang. Seperti tongkat ukiran. Ujungnya, gland penis, besar, kemerahan, membentuk topi baja yang mengkilat. Antara gland penis dan batang terlihat leher penis yang dangkal. Rasanya aku mau berkelahi dengan membawa senjata golok.

Waktu Nyai melihat aku dan memperhatikan penisku..

“Hei.. Gede buanget.. Hebat buanget.. Pasti nikmat buanget..” Aku menyahuti tiruan iklan itu, dengan meletakkan ibu jari tangan kananku di depan bibirku..
“Sssstt..” Tentu saja Nyai senyum atas jawaban spontanku.

Langsung akau naiki perut Nyai. Dengan lutut menahan badan, aku sedikit menunduk, memegang penisku. Segera kumasukkan ke liang vagina Nyai. Aku takut kalau nanti terlambat masuk ke vagina, maninya tersembur lagi keluar. Nyai maklum juga kelihatannya. Kupegang penisku, kepalanya kuhadapkan di depan vagina Nyai, lalu kudorong masuk. Bless.. Lega sekali rasanya. Kalau nanti muncrat, ada di dalam liang vagina Nyai..

Lalu aku rebahkan tubuhku ke depan dengan bertumpu pada kedua sikuku. Bertemulah dadaku dengan buah dada Nyai, bibirku dengan bibir Nyai. Kedua tanganku memegang pipi Nyai, Nyai kucium mesra, lalu kucucuk-cucukkan bibirku pada bibirnya, eh.. menirukan burung yang bercumbu. Sesekali tanganku meremas buah dadanya, memilin putingnya, terkadang mulutku turun ke bawah, menghisap puting buah dada Nyai, bergantian kanan dan kiri

Akan halnya penisku waktu kumasukkan ke liang vaginanya, rasanya memasuki ruang kosong, berongga. Tetapi setelah itu rasanya ada kantong yang menyelimuti. Permukaan kantong itu bergerigi melintang, pelan-pelan kantong itu “meremas “penisku. Tak ingin cepat berejakulasi maka kutarik penisku, kantong vagina itu tidak “mengejar”nya. Kumasukkan lagi seperti tadi, terasa masuk ruang kosong, sebentar liang vagina mulai meremas, kutarik lagi. Begitu beberapa kali. Terkadang penisku agak lama kutarik keluar, sampai tinggal “topi bajanya” yang ada di antara ‘labia mayora’-nya. Terus begini Nyai mencubitku..

“Masukkan lagi Yang..”

Gerakkan in-out ini makin cepat, “pengejaran” penis oleh sekapan kantong vagina juga makin cepat. Di samping itu di pintu masuk, bibir luar (labia mayora) dan bibir dalam (labia minora) juga ikut “mencegat” penisku. Makin cepat aku keluar-masukkan penisku, Nyai terlihat makin menikmati, demikian juga aku sendiri. Ibarat mendaki gunung hampir tiba di puncaknya. Kecepatan penisku memompa vaginanya semakin bertambah cepat, denyut nadiku semakin bertambah, nafas juga semakin cepat. Terlihat juga wajah Nyai semakin tegang menanti puncak orgasme, nafasnya terlihat juga semakin kencang. Cairan di liang vagina Nyai juga terasa semakin banyak, ibarat oli untuk melicinkan gesekan penisku. Peluhku mulai menetes, jatuh bercampur peluh Nyai yang tercium sedap dan wangi.

Makin cepat, makin tinggi.., tiba-tiba penisku terasa disekap rongga vaginanya dengan kuat.. Kuat sekali dengan denyutan yang cepat tetapi dengan amplitudo yang rendah. Orgasme! Nyai mencapai orgasme. Di saat itu lengan Nyai memeluk leherku kuat sekali, sedang tungkainya memeluk pantatku dengan kencang.

“Aihh..”, terdengar desah kepuasan keluar dari bibir Nyai.

Beberapa menit kemudian lubang penisku terasa jebol, cairan menyemprot keluar entah berapa cc. Nikmat.., nikmat sekali.. Nikmat luar biasa. Orgasme Nyai terjadi lebih dulu dari ejakulasiku. Kalau saja Nyai masih bisa hamil, kata dokter anak yang lahir nanti adalah pria.

Saya masih tetap memeluk Nyai sambil mengendurkan nafas. Pelan-pelan penisku mulai mengendur, mengkerut. Tapi rupanya Nyai merespons. Paha dan tungkainya diselonjorkan (diluruskan). Maksudnya memberi jalan agar penisku keluar.

“Terima kasih Yang, terima kasih Mas Agus.. Mas hebat sekali..”, bisiknya.
“Kau cantik sekali Nyai, secantik bidadari..”, balasku

Badanku kurebahkan di samping badan Nyai, memeluk Nyai yang tidur telentang. Kami tidur dalam keadaan telanjang, hanya ditutupi selimut.

Nikmatnya Nyai, nikmatnya wanita, nikmatnya dunia.

Kusetubuhi Mama Kawanku yang Sexy

Ini cerita yang kualami kurang lebih 2 tahun yang lalu. Saya adalah seorang siswa SMU swasta di sebuah kota X, nama saya adalah Endy dan saya saat ini berumur 18 tahun. Saya mempunyai suatu kebiasaan untuk melakukan onani, yah mungkin satu kali untuk satu hari. Saya mempunyai seorang teman, bisa dikatakan dia merupakan teman saya yang terbaik, karena hampir setiap hari kami selalu bersama. Saya memang sering main ke rumahnya dan tentu saja, saya sering berjumpa dengan mamanya. Dapat dikatakan mamanya saat ini kira-kira berusia 36 tahun, tetapi tubuhnya terlihat bagaikan seorang gadis yang berusia 20 tahunan. Yah montok dan padat sekali dan saya memanggil mamanya Tante Nita. Tentu saja saya sering melakukan onani dengan menghayalkan mama kawanku ini.

Suatu hari, kami bersama teman-teman sekolah lainnya akan melaksanakan pesta barbeque dan tempat kami berkumpul merupakan rumah dari kawanku ini. Karena masih menunggu teman kami yang belum hadir, maka saya bermain di rumah kawanku ini dengan permainan dadu dengan yang lainnya. Mungkin karena kebetulan saya melempar dadunya terlalu kuat, maka dadu itu jatuh ke arah kamar mama temanku. Lalu dengan malas dan ogah-ogahan, saya bangkit untuk mengambil dadunya. Tetapi saat akan mengambil dadunya, saya melihat suatu pemandangan yang membuat saya sangat terangsang. Saya melihat Tante Nita hanya memakai celana dalamnya saja, langsung saja kemaluan saya terbangun dan saya segera berjalan keluar sambil berusaha menenangkan diri. Sambil bermain dadu kembali, saya menghayalkan bentuk tubuh Tante Nita yang membuatku sangat terangsang. Tetapi sesaat kemudian, Tante Nita keluar dari kamarnya. Dengan serempak, kami memanggilnya dengan panggilan Tante, tetapi saya tidak berani untuk menatapnya, yah mungkin karena saya malu dan agak sedikit takut mengingat kejadian tadi.

Karena temanku sudah memanggil, maka kami menyudahi permainan dadu kami dan kami mulai bergerak ke luar rumah. Sesaat sampai di luar rumah, saya melihat Tante Nita sedang berdiri sambil memandang ke arahku, lalu dia menyuruhku untuk menemaninya ke rumahnya yang lain untuk sekedar mengambil barang bekas. Dengan gugup saya menjawab dengan jawaban “Ya”, lalu Tante Nita mengambil kunci rumahnya dan kami pun berangkat. Sambil mengikutinya dari belakang, saya memperhatikan goyangan pinggulnya dan tentu saja saat ini saya sudah sangat ingin melakukan masturbasi, tetapi karena balum memiliki kesempatan, maka saya diam saja sambil menghayalkan sedang bersetubuh dengan Tante Nita.

Sesampainya di rumah tersebut, saya melihat rumah tersebut sudah lama tidak dihuni, mungkin saja karena Tante Nita baru saja pindah ke rumah baru. Kemudian kami pun masuk ke dalam. Dengan hati-hati saya memperhatikan sekeliling rumah tersebut. Memang agak berdebu tetapi masih terlihat kalau rumah tersebut rapi.
Sesampainya di ruang tengah rumah tersebut, Tante Nita bertanya kepadaku, “Apa yang kamu lihat waktu kamu mengambil dadu yang terjatuh itu tadi..?”
Dengan terkejut saya menjawab, “Saya tidak melihat apa-apa, Tante…”
Lalu Tante Nita berkata, “Kamu jangan bohong, nanti saya laporkan bahwa kamu berbuat yang tidak senonoh pada Tante..”

Dengan terbata-bata, saya menjawab bahwa saya melihat Tante sedang ganti baju, tetapi saya tidak melihatnya dengan jelas.
Lalu Tante Nita bertanya lagi, “Apakah kamu ingin melihatnya sekali lagi..?”
Seperti mendapat durian runtuh, maka saya menjawab, “Kalo Tante Nita mengijinkan, saya mau Tante.”
Sesaat Tante Nita diam, lalu dia menyuruh saya untuk mendekat. Dengan hati-hati, maka saya mendekat padanya, lalu Tante Nita menarik tangan saya dan mencium bibir saya. Tentu saja saya balas dengan ciuman kembali, sedangkan kedua tangan saya diam saja karena sesungguhnya saya dalam keadaan yang sangat tegang.

Berbeda dengan tangan Tante Nita, tangannya mulai memegang kejantanan saya dan satunya lagi mulai meremas pantat saya. Kemudian Tante Nita mulai membuka resluiting celana saya dan mulai mengocok kemaluan saya. Saya merasakan kenikmatan karena tangan Tante Nita sangat lembut dan sangat berpengalaman. Karena terbawa perasaan nikmatnya, mata saya mulai tertutup dan mulai menikmati permainan Tante Nita. Belum berlangsung lama permainan kami, Tante Nita menghentikan permainannya, tentu saja hal ini membuat saya keheranan.

Lalu saya mulai berani menatapnya dan saya bertanya kepadanya, “Tante, bolehkah saya memegang payudara Tante..?”
Sambil sedikit tersenyum, Tante Nita berkata, “Terserah kamu sayang…”
Lalu tangan saya mulai meraba payudara Tante, tetapi saya merabanya dari luar saja karena masih tertutup oleh baju dah BH-nya.
Karena merasa kurang puas, maka saya bertanya lagi, “Tante, bolekah saya membuka baju tante..?”
Dengan sedikit kesal, Tante Nita menjawab, “Kamu boleh melakukan semua yang ingin kamu lakukan, tubuh saya sekarang ini adalah milikmu sepenuhnya.”
Dengan terbata-bata saya menjawab, “Terima kasih Tante…”
Lalu Tante Nita berkata lagi, “Panggil saya Nita saja, tidak usah lagi sebutkan Tantenya.”
Lalu saya menjawab, “Ya, Tante.., eh, maksud saya Nita.”

Permainan terus berlanjut, saya mulai membuka kancing baju Tante Nita. Terlihatlah dua bukit kembar yang indah sekali, mungkin ukurannya sekitar 36A. Lalu saya mulai meremas dan mencium payudara Tante Nita dan Tante Nita mulai merasakan kenikmatan dan mengeluarkan suara desahan.
“Uuhhh… ahhh..,”
Saya mulai membuka ikatan BH-nya dan menyemburlah payudaranya. Dengan liar bibir saya mulai menghisap payudara yang di sebelah kanan, sedangkan tangan saya meremas dengan keras payudaranya yang di sebelah kiri. Saya terus menghisap puting payudara Tante Nita kurang lebih 5 menit lamanya. Kemudian saya melepaskannya dan saya melihat putingnya sudah berwarna kemerah-merahan agak hitam.

Kemudian Tante Nita mulai turun dan berjongkok di hadapan kemaluan saya. Dengan cepat dia menurunkan celana jeans saya sekaligus dengan celana dalam saya, lalu dia pun membuka mulutnya dan memasukkan kemaluan saya ke mulutnya. Hal ini membuat saya terkejut, kemudian Tante Nita mulai menghisap kemaluan saya dan memainkannya di dalam mulutnya yang membuat saya lupa diri. Tangan saya mulai menjambak rambut Tante Nita dan kaki saya mulai menjinjit karena saya merasakan kenikmatan yang hebat. Kurang lebih 10 menit kemudian, saya merasakan ada yang mendesak keluar seperti saat saya sedang melakukan masturbasi dan saya mulai mengerang, “Aduh, Nita… saya sampai nih, uh… uhhh… uuuhhh…” Dan Tante Nita mulai mempercepat permainannya dan akhirnya saya mengeluarkan cairan sperma saya di dalam mulutnya Tante Nita. Saya merasakan Tante Nita menghisap habis seluruh sperma saya dan menelannya. Dalam sisa-sisa kenikmatan, saya melihat Tante Nita bangkit dan mencium bibir saya, yang tentu saja saya balas dengan ciuman yang hangat dan liar.

Hanya dalam hitungan beberapa detik, Tante Nita menekan kepala saya dan saya pun mengerti apa yang diinginkan Tante Nita. Saya mulai berjongkok dan Tante Nita berganti posisi dengan tubuhnya bersandar pada dinding rumah. Dengan perlahan saya menurunkan celanan Tante, lalu saya melihat CD warna biru langitnya Tante Nita dengan segunduk daging yang menonjol di antara kakinya, selain itu saya juga melihat CD-nya mulai basah oleh cairan kemaluannya. Tante Nita berkata kepada saya, “Endy, cepat donk.., Tante sudah nggak tahan nih…” Dengan tenang saya menjawab, “Iya Nita..,” dan saya mulai memeloroti CD-nya. Saya melihat rambut kemaluan Tante Nita yang sungguh subur tetapi terawat dengan rapih.

Sejujurnya, saya sungguh tidak menyangka keindahan alat kelamin wanita ini berbeda dengan yang pernah saya lihat di film-film blue bahkan sangat berbeda. Dengan perlahan-lahan, saya mulai menyapu kemaluan Tante Nita dengan lidah saya. Sesudah rambut kemaluannya basah oleh air liur saya, saya mulai memasukkan lidah saya di antara kemaluannya dan saya menemukan sebuah bijian kecil. Dengan lidah saya, saya mulai menjilati biji tersebut, hal ini membuat Tante Nita mengerang keenakan.
“Endy.., terus.., Tante merasa nikmat sekali, ah… ah… uhhh…” desahnya.
Karena merasakan Tante Nita yang mulai terangsang, maka saya mempercepat jilatan saya pada bijian tersebut kurang lebih 6 menit Tante Nita menjerit sambil memegang dan menjambak rambut saya.
“Uhhh… Tante sampai nihhh… ayo terus Ndyyy… ah… ehmmm… nikmat sekali.”

Lalu saya melepaskan permainan lidah saya dan saya melanjutkan dengan tangan saya yang mulai mengosok dan mengocok kemaluan Tante Nita karena saya merasa jijik untuk menghisap air kemaluan wanita tetapi dengan cepat Tante menarik kepalaku dan mengarahkannya kembali ke kemaluannya. Karena ingin memuaskan Tante Nita, maka saya mulai memainkan lidah saya di kemaluan Tante Nita.
Akhirnya Tante mengejang dan berteriak, “Ahh… ahhh… auuu… ehmmm… saya sampai, terus Ndyyy… uhh… ahhh… aahhh…”
Saya merasakan ada cairan yang keluar dari kemaluan Tante, maka saya menghisap seluruh cairan tersebut sampai kering dan kemudian saya menelannya.

Karena melihat Tante Nita sedang merasakan sisa-sisa kenikmatannya maka saya bangkit dan mencium bibirnya, sedangkan tangan saya meremas payudaranya.
Lalu Tante Nita membuka matanya dan tersenyum nakal sambil berkata, “Endy, kamu kurang ajar sekali, bahkan dengan mama kawan baikmu pun kamu berani berbuat begitu.”
Dengan terkejut saya berkata, “Tapi Tante, saya tidak bermaksud begitu, khan tante yang…” Belum selesai saya berkata Tante Nita memotongnya dan berkata, “Saya tahu kamu tidak bermaksud begitu tapi kamu sudah melakukannya jadi ya.., nggak apa-apa deh… tante suka dengan permainan kamu. Lain kali kamu harus melakukannya dengan Tante lagi, kalo tidak.. Tante akan laporkan kamu sama yang lainnya!”
Lalu saya tersenyum dan berkata, “Tante nakal sekali, saya sampai terkejut, tapi Tante jangan khawatir, lain kali saya akan melayani Tante lagi, saya janji Nita.”
“Kamu harus ingat janji kamu yach… sekarang kita harus berpakaian kembali, lalu kamu kembali ke teman kamu… khan kamu mau barbeque khan..?” kata Tante Nita kemudian yang sempat membuatku terkejut seperti sadar kembali kalau kami sudah meninggalkan acara pesta.

Dengan cepat saya mulai membetulkan pakaian saya dan merapikan rambut saya sambil bertanya kepada Tante Nita, “Tante.., kita sudah pergi berapa lama sih..? Kalo ketahuan gimana, Tante..?”
Dengan tenang Tante menjawab, “Kamu jangan khawatir, Tante akan mengaturnya supaya aman.”
Lalu kami pun kembali ke rumah Tante Nita yang baru meskipun dalan hatiku masih ada sedikit keraguan. Sesampainya disana, Tante berkata bahwa kami membongkar seluruh rumah untuk mencari kunci lemarinya sehingga memerlukan waktu setengah jam. Sambil bernafas lega, saya menoleh ke arah Tante Nita dan melihatnya tertawa, sungguh mengoda sekali.

Beginilah awal kisahku dengan Tante Nita yang merupakan mama dari kawan baikku. Di pesta barbeque bersama temanku, saya merasa sangat tidak tenang bahkan terasa ada yang ingin dikeluarkan. Akhirnya saya pun melakukan masturbasi di kamar mandi, tentu saja sambil menghayalkan Tante Nita. Dalam hati saya tentu saja sangat ingin untuk melakukannya dengan Tante nita, tetapi yah…

Hari ini sudah lewat 2 minggu sejak kejadian di malam pesta barbeque itu. Saya sendiri sudah tidak sabar dan frekuensi onani saya malah semakin meningkat, bahkan bisa tiga kali dalam satu hari. Tetapi siang harinya, ketika baru pulang dari sekolah, sesampai di rumah dan duduk di kursi sambil melepas sepatu, saya menggerutu, “Aduh, hari ini kok panas sekali…”Tetapi tiba-tiba saya mendengar pembantu saya berteriak, “Mas Endy ada telpon tuh..!”
Lalu sambil malas-malasan saya bangkit dan mengambil telepon sambil menjawab, “Halo..?”
“Ini Endy yach..?” tanya orang lawan bicara saya.
Saya jawab, “Iya, disana siapa yach..?”
“Kamu udah lupa yach ama saya..?” dengan logat memancing.
Karena merasa dipermainkan, saya mulai emosi dan menjawab, “Disana siapa sich kalo nggak mo bilang lagi saya tutup teleponnya nih..!”
“Kok marah sich..? Nanti tante laporkan kamu lho dan nggak tante kasih kamu kenikmatan lagi.” kata lawan bicara saya lagi.

Mendengar kata-katanya yang terakhir tadi, saya jadi teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu dan saya langsung menjawab lagi, “Oh, ini Tante Nita yach..? Sori Tante gua lagi nggak mood nih… Tante sich main-main aja…”
Lalu Tante Nita berkata “Nggak mood yach..? Jadi sama Tante juga nggak mood donk..? Tadinya
Tante mo ajak kamu ke rumah Tante nih, abisnya lagi sepi nih.., tapi nggak jadi deh..”
Dengan cepat saya memotong, “Bentar dulu Tante, kalo Tante sich gua jadi mood lagi nih, emang teman saya (maksudnya anak Tante Nita yang menjadi teman baik saya) nggak ada di rumah yach..?”
“Kamu tenang aja deh… pokoknya dari sekarang (saat itu jam 12:30) sampe nanti sore jam 5 kita aman deh.., jadi datang nggak..?” tanya Tante Nita.
Tentu saja saya menjawab, “Jadi donk Tante.., bentar lagi saya ke sana Tante, Tante tunggu yach..!”

Setelah itu, saya segera menutup teleponnya seperti tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Kemudian saya segera berlari ke kamar dan ganti baju, terus segera keluar rumah menuju rumah Tante Nita, karena dari rumahku ke rumah Tante Nita memerlukan waktu sekitar 15 menit jalan kaki. Karena ingin cepat tiba disana, maka saya naik angkot (angkutan umum perkotaan) saja.

Sesampainya di rumah Tante Nita, saya segera memutar ke belakang karena lewat pintu samping rumah Tante Nita lebih aman dan sepi. Kemudian dengan perlahan saya mengetuk pintu dan terdengar Tante Nita menjawab.
“Iya, bentar…” lalu Tante Nita membuka pintu dan mempersilakan saya masuk.
Di depan saya, Tante Nita berpakaian kaos oblong dan celana pendek putih. Berpenampilan seperti itu tentu saja sama dengan menampakkan BH dan CD-nya yang berwarna hitam secara sengaja kepada saya. Dalam pikiran saya mungkin Tante Nita sengaja membuat saya terangsang, tetapi saya berusaha tetap tenang, yah.. stay cool deh pokoknya.

Setelah itu, Tante Nita menyuruh saya mengikutinya dan saya pun berjalan. Tetapi begitu melihat pinggulnya yang bergoyang, saya tidak tahan lagi, segera saya menarik Tante Nita dan menciumnya. Tante Nita pun segera membalas ciumanku dan tangan saya segera bergerak untuk membuka bajunya.
Bersamaan dengan itu, Tante Nita berkata, “Jangan di sini donk sayang..!”
“Dimana Tante..?” tanya saya.
“Di kamar Tante aja…” kata Tante Nita.
Lalu saya pun segera menarik tangan Tante Nita dan berkata, “Jadi, tunggu apa lagi Tante..?”

Setelah sampai di kamar Tante Nita, saya segera merebahkannya. Di mata saya, Tante Nita tampak sangat anggun dan mengairahkan. Dengan tidak membuang waktu lagi, saya segera menciumnya dan ciuman saya di balas Tante Nita dengan hangat. Sementara itu tangan saya segera bergerak aktif untuk meremas buah dada Tante Nita. Tiba-tiba Tante Nita mendorongku dan dengan terkejut saya bangkit, tetapi kemudian Tante Nita segera menarikku dan naik di atas tubuhku sehingga posisi saya sekarang adalah Tante Nita di atas tubuh saya. Saya segera mambuka baju Tante Nita sehingga tampaklah buah dadanya yang masih dibungkus oleh BH hitamnya. Saat itu Tante Nita menunduk sehingga sekarang buah dadanya tampak di depan mataku dengan sangat jelas.

Untuk menghemat waktu dan karena memang saya juga sudah sangat terangsang, maka saya segera melumat payudara Tante Nita dan melepas BH hitamnya.
“Aduh enak sekali, ahhh… uh… sttt…” desahnya yang menandakan Tante Nita sudah terangsang.
Karena sudah terangsang maka Tante Nita segera melepas baju dan celana saya, sehingga saya hanya tinggal memakai CD saja. Kemudian saya berguling ke samping sehingga posisi saya sekarang di atas Tante Nita, lalu saya segera merangkak turun dan melepas celananya sehingga tampaklah pemandangan di depan wajah saya sebuah surga kenikmatan yang masih terbungkus oleh kain hitam. Tanpa menunggu aba-aba darinya, saya langsung melepaskan CD-nya Tante Nita dan tampaklah kemaluan Tante Nita yang terawat dengan rapih. Sungguh sangat indah dan berbeda dengan yang pertama kali saya lihat dulu.

Dengan perlahan saya menjilati permukaan vaginanya dan Tante Nita pun segera mengerang.
“Aduh, nikmat sekali… sungguh… geli tapi… ahhh… uhhh… terus Endy…”
Segera saya menaikkan permainan saya sehingga tidak lama kemudian Tante Nita pun menjerit.
“Aduh saya sampai Ndyyy… segera keluar… ahhh…”
Lalu saya segera menghisap bijian di kemaluan Tante Nita sehingga saat cairan kemaluan Tante Nita keluar, segera saya hisap habis dan menelannya.
Dalam sisa kenikmatannya, Tante Nita berkata, “Endy… biarkan Tante Nita istirahat yach..? Nanti Tante Nita baru melanjutkannya kembali.”
Saya segera menjawab, “Iya Tante…”

Setelah beristirahat 15 menit, Tante Nita mulai bangkit dan segera melepas CD saya. Tampaklah kemaluan saya yang masih dalam posisi setengah tiang. Tante Nita segera memasukkannya ke dalam mulutnya dan menjilatinya. Di dalam mulut Tante Nita, kemaluanku segera mengeras hingga dalam posisi yang siap tempur. Tante Nita sungguh sangat berpengalaman dalam menjilati kejantanan pria yang dengan cara menghisap dan kadang-kadang mengigitnya dengan perlahan. Hal ini membuatku sangat terangsang. Karena sudah tidak tahan lagi, maka saya segera menarik tubuh Tante Nita ke atas dan dan membalikkannya.

“Tante Nita, saya sudah tidak tahan lagi, sekarang saya masukkan yach Tante..?” tanya saya yang sudah merasa sangat terangsang.
Tante Nita menjawab, “Terserah kamu Ndyy.., tapi hati-hati yach soalnya punya tante udah lama nih nggak digunakan..”
Dengan pelan dan hati-hati saya mengarahkan kepala kemaluan saya ke dalam lubang kemaluan
Tante. Kepala kemaluan saya mulai menyentuh bibir kemaluan Tante Nita, lalu saya menekannya sehingga kepala kemaluan saya sudah terbenam ke dalamnya.
Tante Nita segera menjerit, “Aduh… sakit sekali… pelan-pelan Ndy…”Tetapi saya sudah tidak perduli lagi, saya segera melanjutkan aksi saya dengan menekan kemaluaan saya lebih dalam lagi dan kepala kemaluan saya juga mulai terasa perih karena ini adalah pertama kali saya melakukan hubungan intim. Saya tetap menekan batang kemaluan saya sehingga tidak lama kemudian, seluruh kemaluan saya sudah terbenam dalam kemaluan Tante Nita.
Tante Nita lalu mengerang, “Aduh sakit sekali… biarkan tetap di dalam Endy, aduh… ahhh… ehmmm… uh…”

Setelah terdiam hampir 5 menit, saya segera mengoyang pinggul saya dengan naik turun secara berirama dan Tante Nita pun mengimbanginya dengan goyangan pinggulnya yang membuat saya merasa sangat keenakan.
Tante Nita tiba-tiba mengerang secara tidak jelas, “Aduh… sakit sekali, tapi enak sekali, terus Endy…”
Saya sudah tidak memperdulikan Tante Nita dan hanya terus memacu kemaluan saya untuk mencapai kenikmatan.

Tidak lama kemudian, setelah 8 menit, saya mendengar Tante Nita menjerit kembali, “Aduh… saya sampai Ndyyy… akan segera keluar nih…”
Saya menjawabnya, “Sebentar lagi Nita, sebentar lagi… saya juga hampir sampai nih…”
Tidak lama, Tante Nita tiba-tiba mengejang dan saya merasakan ada cairan hangat di dalam kemaluan Tante Nita dan Tante Nita mengerang lagi, “Aduh… ahhh… aku sampai Endy… nikmat sekali…”

Tidak sampai disitu, selang beberapa detik, saya merasa juga ada yang mendesak keluar dari kemaluan saya dan akan segera meledak.
Rupanya saya juga telah mencapai kenikmatan dunia dan saya menjerit, “Saya sampai Tante eh… ahhh… nikmat sekali”
Lalu saya segera jatuh dan berbaring di samping tubuh Tante Nita sambil merasakan sisa kenikmatan yang telah kami capai berdua.

Setelah beristirahat, kami melakukannya lagi 3 kali dalam tempo yang cepat. Tante Nita dan saya sama-sama mencapai puncak kenikmatan 3 kali.
Setelah mandi dan pikiran kami sudah tidak terpengaruh nafsu lagi, Tante Nita berkata padaku,
“Tante Nita minta maaf Endy… tadi Tante Nita telah merenggut keperjakaan kamu… sungguh Tante Nita minta maaf..”
Tetapi saya segera berkata, “Tidak apa-apa Tante, saya rela kok menyerahkannya pada Tante, sungguh saya sangat menyukai permainan tadi. Tapi Tante Nita harus janji kalo Tante Nita lain kali harus memberikan kenikmatan yang sama lagi kepadaku..!”
Sambil tersenyum, Tante Nita berkata, “Iya… Tante sangat senang dengan permainan tadi, Tante janji, Tante bersedia melayani kamu lagi, tapi kamu juga harus membuat Tante merasa keenakan seperti tadi..” dan saya mengiyakannya.

Hubungan kami hampir berlangsung selama 2 tahun, tetapi kami melakukannya dengan caracara yang tradisional. Saya maupun Tante Nita tidak menyukai gaya-gaya yang terlalu berani seperti gaya anjing maupun yang lainnya. Hubungan kami sekarang meskipun belum diputuskan berakhir, tetapi kami hampir tidak pernah berjumpa lagi, karena saya sudah melanjutkan kuliah di luar kota yang tentu saja dengan anaknya Tante Nita. Hubungan saya dengan Tante Nita sampai sekarang tetap menjadi rahasia kecil kami. Jikalau saya liburan dan pulang ke kampung halaman saya, Tante Nita selalu meminta bagiannya dan saya pun dengan senang hati melayaninya.

Cerita Tante Tetty Selengkapnya

namaku Priambudhy Saktiaji, teman-teman memanggilku Budhy. Aku tinggal di Bogor, sebelah selatan Jakarta. Tinggiku sekitar 167 cm, bentuk wajahku tidak mengecewakan, imut-imut kalau teman-teman perempuanku bilang. Langsung saja aku mulai dengan pengalaman pertamaku ‘make love’ (ML) atau bercinta dengan seorang wanita. Kejadiannya waktu aku masih kelas dua SMA (sekarang SMU).

Saat itu sedang musim ujian, sehingga kami di awasi oleh guru-guru dari kelas yang lain. Kebetulan yang mendapat bagian mengawasi kelas tempatku ujian adalah seorang guru yang bernama Ibu Netty, umurnya masih cukup muda, sekitar 25 tahunan. Tinggi badannya sekitar 155 cm. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, bentuk wajahnya oval dengan rambut lurus yang di potong pendek sebatas leher, sehingga memperlihatkan lehernya yang jenjang.

Yang membuatku sangat tertarik adalah tonjolan dua bukit payudaranya yang cukup besar, bokongnya yang sexy dan bergoyang pada saat dia berjalan. Aku sering mencuri pandang padanya dengan tatapan mata yang tajam, ke arah meja yang didudukinya. Kadang, entah sengaja atau tidak, dia balas menatapku sambil tersenyum kecil. Hal itu membuatku berdebar-debar tidak menentu. Bahkan pada kesempatan lain, sambil menatapku dan memasang senyumnya, dia dengan sengaja menyilangkan kakinya, sehingga menampakkan paha dan betisnya yang mulus.

Di waktu yang lain dia bahkan sengaja menarik roknya yang sudah pendek (di atas lutut, dengan belahan disamping), sambil memandangi wajahku, sehingga aku bisa melihat lebih dalam, ke arah selangkangannya. Terlihat gundukan kecil di tengah, dia memakai celana dalam berbahan katun berwarna putih. Aku agak terkejut dan sedikit melotot dengan ‘show’ yang sedang dilakukannya. Aku memandang sekelilingku, memastikan apa ada teman-temanku yang lain yang juga melihat pada pertunjukan kecil tersebut. Ternyata mereka semua sedang sibuk mengerjakan soal-soal ujian dengan serius. Aku kembali memandang ke arah Ibu Netty, dia masih memandangku sambil tersenyum nakal. Aku membalas senyumannya sambil mengacungkan jempolku, kemudian aku teruskan mengerjakan soal-soal ujian di mejaku. Tentu saja dengan sekali-kali melihat ke arah meja Ibu Netty yang masih setia menyilangkan kakinya dan menurunkannya kembali, sedemikian rupa, sehingga memperlihatkan dengan jelas selangkangannya yang indah.

Sekitar 30 menit sebelum waktu ujian berakhir, aku bangkit dan berjalan ke depan untuk menyerahkan kertas-kertas ujianku kepada Ibu Netty. “Sudah selasai?” katanya sambil tersenyum. “Sudah, bu….” jawabku sambil membalas senyumnya. “Kamu suka dengan yang kamu lihat tadi?” dia bertanya mengagetkanku. Aku menganggukkan kepalaku, kami melakukan semua pembicaraan dengan berbisik-bisik. “Apa saya boleh melihatnya lagi nanti?” kataku memberanikan diri, masih dengan berbisik. “Kita ketemu nanti di depan sekolah, setelah ujian hari ini selesai, ok?” katanya sambil tersenyum simpul. Senyum yang menggetarkan hatiku dan membuat tubuhku jadi panas dingin.

Siang itu di depan gerbang sekolah, sambil menenteng tasnya, bu Netty mendekati tempatku berdiri dan berkata, “Bud, kamu ikuti saya dari belakang” Aku mengikutinya, sambil menikmati goyangan pinggul dan pantatnya yang aduhai. Ketika kami sudah jauh dari lingkungan sekolah dan sudah tidak terlihat lagi anak-anak sekolah di sekitar kami, dia berhenti, menungguku sampai di sampingnya. Kami berjalan beriringan. “Kamu benar-benar ingin melihat lagi?” tanyanya memecah kesunyian. “Lihat apa bu?” jawabku berpura-pura lupa, pada permintaanku sendiri sewaktu di kelas tadi pagi. “Ah, kamu, suka pura-pura…” Katanya sambil mencubit pinggangku pelan. Aku tidak berusaha menghindari cubitannya, malah aku pegang telapak tangannya yang halus dan meremasnya dengan gemas. bu Netty balas meremas tanganku, sambil memandangiku lekat-lekat.

Akhirnya kami sampai pada satu rumah kecil, agak jauh dari rumah-rumah lain. Sepertinya rumah kontrakan, karena tidak terlihat tambahan ornamen bangunan pada rumah tersebut. Bu Netty membuka tasnya, mengeluarkan kunci dan membuka pintu. “Bud, masuklah. Lepas sepatumu di dalam, tutup dan kunci kembali pintunya!” Perintahnya cepat. Aku turuti permintaannya tanpa banyak bertanya. Begitu sampai di dalam rumah, bu Netty menaruh tasnya di sebuah meja, masuk ke kamar tanpa menutup pintunya. Aku hanya melihat, ketika dengan santainya dia melepaskan kancing bajunya, sehingga memperlihatkan BH-nya yang juga terbuat dari bahan katun berwarna putih, buah dadanya yang putih dan agak besar seperti tidak tertampung dan mencuat keluar dari BH tersebut, membuatnya semakin sexy, kemudian dia memanggilku. “Bud, tolong dong, lepasin pengaitnya…” katanya sambil membelakangiku. Aku buka pengait tali BH-nya, dengan wajah panas dan hati berdebar-debar. Setelah BH-nya terlepas, dia membuka lemari, mengambil sebuah kaos T-shirt berwarna putih, kemudian memakainya, masih dengan posisi membelakangiku. T-shirt tersebut terlihat sangat ketat membungkus tubuhnya yang wangi.

Kemudian dia kembali meminta tolong padaku, kali ini dia minta dibukakan risleting roknya! Aku kembali dibuatnya berdebar-debar dan yang paling parah, aku mulai merasa selangkanganku basah. Kemaluanku berontak di dalam celana dalam yang rangkap dengan celana panjang SMA ku. Ketika dia membelakangiku, dengan cepat aku memperbaiki posisi kemaluanku dari luar celana agar tidak terjepit. Kemudian aku buka risleting rok ketatnya. Dengan perlahan dia menurunkan roknya, sehingga posisinya menungging di depanku. Aku memandangi pantatnya yang sexy dan sekarang tidak terbungkus rok, hanya mengenakan celana dalam putihnya, tanganku meraba pantat bu Netty dan sedikit meremasnya, gemas.
“Udah nggak sabar ya, Bud?” Kata bu Netty.
“Maaf, bu, habis bokong ibu sexy banget, jadi gemes saya….”
“Kalo di sini jangan panggil saya ‘bu’ lagi, panggil ‘teteh’ aja ya?”
“Iya bu, eh, teh Netty”
Konsentrasiku buyar melihat pemandangan di hadapanku saat ini, bu Netty dengan kaos T-shirt yang ketat, tanpa BH, sehingga puting susunya mencuat dari balik kaos putihnya, pusarnya yang sexy tidak tertutup, karena ukuran kaos T-shirt-nya yang pendek, celana dalam yang tadi pagi aku lihat dari jauh sekarang aku bisa lihat dengan jelas, gundukan di selangkangannya membuatku menelan ludah, pahanya yang putih mulus dan ramping membuat semuanya serasa dalam mimpi.
“Gimana Bud, suka nggak kamu?” Katanya sambil berkcak pinggang dan meliuk-liukkan pinggulnya.
“Kok kamu jadi bengong, Bud?” Lanjutnya sambil menghampiriku.
Aku terdiam terpaku memandanginya ketika dia memeluk leherku dan mencium bibirku, pada awalnya aku kaget dan tidak bereaksi, tapi tidak lama. Kemudian aku balas ciuman-ciumannya, dia melumat bibirku dengan rakusnya, aku balas lumatannya. “Mmmmmmmmmhhhhhhhhhhh….” Gumamnya ditengah ciuman-ciuman kami. Tidak lama kemudian tangan kanannya mengambil tangan kiriku dan menuntun tanganku ke arah payudaranya, aku dengan cepat menanggapi apa maunya, kuremas-remas dengan lembut payudaranya dan kupilin-pilin putingnya yang mulai mengeras. “Mmmmhhhh….mmmmmhhhhh” Kali ini dia merintih nikmat. Aku usap-usap punggungnya, turun ke pinggangngya yang tidak tertutup oleh kaos T-shirtnya, aku lanjutkan mengusap dan meremas-remas pantatnya yang padat dan sexy, lalu kulanjutkan dengan menyelipkan jari tengahku ke belahan pantatnya, kugesek-gesek kearah dalam sehingga aku bisa menyentuh bibir vaginanya dari luar celana dalam yang dipakainya. Ternyata celana dalamnya sudah sangat basah. Sementara ciuman kami, berubah menjadi saling kulum lidah masing-masing bergantian, kadang-kadang tangannya menjambaki rambutku dengan gemas, tangannya yang lain melepas kancing baju sekolahku satu per satu. Aku melepas pagutanku pada bibirnya dan membantunya melepas bajuku, kemudian kaos dalam ku, ikat pinggangku, aku perosotkan celana panjang abu-abuku dan celana dalam putihku sekaligus. Bu Netty pun melakukan hal yang sama, dengan sedikit terburu-buru melepas kaos T-shirtnya yang baru dia pakai beberapa saat yang lalu, dia perosotkan celana dalam putihnya, sehingga sekarang dia sudah telanjang bulat.

Tubuhnya yang putih mulus dan sexy sangat menggiurkan. Hampir bersamaan kami selesai menelanjangi tubuh kami masing-masing, ketika aku menegakkan tubuh kembali, kami berdua sama-sama terpaku sejenak. Aku terpaku melihat tubuh polosnya tanpa sehelai benangpun. Aku sudah sering melihat tubuh telanjang, tetapi secara langsung dan berhadap-hapan baru kali itu aku mengalaminya. Payudaranya yang sudah mengeras tampak kencang, ukurannya melebihi telapak tanganku, sejak tadi aku berusaha meremas seluruh bulatan itu, tapi tidak pernah berhasil, karena ukurannya yang cukup besar. Perutnya rata tidak tampak ada bagian yang berlemak sedikitpun. Pinggangnya ramping dan membulat sangat sexy. Selangkangannya di tumbuhi bulu-bulu yang sengaja tidak dicukur, hanya tumbuh sedikit di atas kemaluannya yang mengkilap karena basah.

Tubuh telanjang yang pernah aku lihat paling-paling dari gambar-gambar porno, blue film atau paling nyata tubuh ABG tetanggaku yang aku intip kamarnya, sehingga tidak begitu jelas dan kulakukan cepat-cepat karena takut ketahuan. Kebiasaan mengintipku tidak berlangsung lama karena pada dasarnya aku tidak suka mengintip.

Sementara bu Netty memandang lekat kemaluanku yang sudah tegang dan mengeras, pangkalnya di tumbuhi bulu-bulu kasar, bahkan ada banyak bulu yang tumbuh di batang kemaluanku. Ukurannya cukup besar dan panjangnya belasan centi. “Bud, punyamu lumayan juga, besar dan panjang, ada bulunya lagi di batangnya” katanya sambil menghampiriku.

Jarak kami tidak begitu jauh sehingga dengan cepat dia sudah meraih kemaluanku, sambil berlutut dia meremas-remas batang kemaluanku sambil mengocok-ngocoknya lembut dan berikutnya kepala kemaluanku sudah dikulumnya. Tubuhku mengejang mendapat emutan seperti itu. “Oooohhhh…. enak teh….” rintihku pelan. Dia semakin bersemangat dengan kuluman dan kocokan-kocokannya pada kemaluanku, sementara aku semakin blingsatan akibat perbuatannya itu. Kadang dimasukkannya kemaluanku sampai ke dalam tenggorokannya. Kepalanya dia maju mundurkan, sehingga kemaluanku keluar masuk dari mulutnya, sambil dihisap-hisap dengan rakus. Aku semakin tidak tahan dan akhirnya…, jebol juga pertahananku. Spermaku menyemprot ke dalam mulutnya yang langsung dia sedot dan dia telan, sehingga tidak ada satu tetespun yang menetes ke lantai, memberiku sensasi yang luar biasa. Rasanya jauh lebih nikmat daripada waktu aku masturbasi.
“Aaaahhhh… ooooohhhhh…. teteeeeehhhhh!” Teriakku tak tertahankan lagi.
“Gimana? enak Bud?” Tanyanya setelah dia sedot tetesan terakhir dari kemaluanku.
“Enak banget teh, jauh lebih enak daripada ngocok sendiri” jawabku puas.
“Gantian dong teh, saya pengen ngerasain punya teteh” lanjutku sedikit memohon.
“Boleh…,” katanya sambil menuju tempat tidur, kemudian dia merebahkan dirinya di atas ranjang yang rendah, kakinya masih terjulur ke lantai. Aku langsung berlutut di depannya, kuciumi selangkangannya dengan bibirku, tanganku meraih kedua payudaranya, kuremas-remas lembut dan kupilin-pilin pelan puting payudaranya yang sudah mengeras. Dia mulai mengeluarkan rintihan-rintihan perlahan. Sementara mulutku menghisap, memilin, menjilat vaginanya yang semakin lama semakin basah. Aku permainkan clitorisnya dengan lidahku dan ku emut-emut dengan bibirku.
“Aaaaaahhhhh… ooooohhhhhh, Buuuuddddhyyyyy…, aku sudah tidak tahan, aaaaauuuuuhhhhhh!” Rintihannya semakin lama semakin keras. Aku sedikit kuatir kalau ada tetangganya yang mendengar rintihan-rintihan nikmat tersebut. Tetapi karena aku juga didera nafsu, sehingga akhirnya aku tidak terlalu memperdulikannya. Hingga satu saat aku merasakan tubuhnya mengejang, kemudian aku merasakan semburan cairan hangat di mulutku, aku hisap sebisaku semuanya, aku telan dan aku nikmati dengan rakus, tetes demi tetes. Kakinya yang tadinya menjuntai ke lantai, kini kedua pahanya mengapit kepalaku dengan ketat, kedua tangannya menekan kepalaku supaya lebih lekat lagi menempel di selangkangannya, membuatku sulit bernafas. Tanganku yang sebelumnya bergerilya di kedua payudaranya kini meremas-remas dan mengusap-usap pahanya yang ada di atas pundakku.

“Bud, kamu hebat, bikin aku orgasme sampai kelojotan begini, belajar darimana?” Tanyanya. Aku tidak menjawab, hanya tersenyum. Aku memang banyak membaca tentang hubungan sexual, dari majalah, buku dan internet. Sementara itu kemaluanku sudah sejak tadi menegang lagi karena terangsang dengan rintihan-rintihan nikmatnya bu Netty. Akupun berdiri, memposisikan kemaluanku didepan mulut vaginanya yang masih berkedut dan tampak basah serta licin itu.
“Aku masukin ya teh?” Tanyaku, tanpa menunggu jawaban darinya, aku melumat bibirnya yang merekah menanti kedatangan bibirku.
“Oooohhhh…” rintihnya,
“Aaaahhhh…” kubalas dengan rintihan yang sama nikmatnya, ketika kemaluanku menembus masuk ke dalam vaginanya, hilanglah keperjakaanku. Kenikmatan tiada tara aku rasakan, ketika batang kemaluanku masuk seluruhnya, bergesekan dengan dinding vagina yang lembut, hingga ke pangkalnya. Bu Netty merintih semakin kencang ketika bulu kemaluanku yang tumbuh di batang kemaluanku menggesek bibir vagina dan clitorisnya, matanya setengah terpejam mulutnya menganga, nafasnya mulai tersenggal-senggal.
“Ahh-ahh-ahh auuuu!” Kutarik lagi kemaluanku perlahan, sampai kepalanya hampir keluar. Kumasukkan lagi perlahan, sementara rintihannya selalu di tambah teriakan kecil, setiap kali pangkal batang kemaluanku menghantam bibir vagina dan clitorisnya. Gerakanku semakin lama semakin cepat, bibirku bergantian antara melumat bibirnya, atau menghisap puting payudaranya kiri dan kanan. Teriakan-teriakannya semakin menggila, kepalanya dia tolehkan kekiri dan kekanan membuatku hanya bisa menghisap puting payudaranya saja, tidak bisa lagi melumat bibirnya yang sexy.

Sementara itu pinggulnya dia angkat setiap kali aku menghunjamkan kemaluanku ke dalam vaginanya yang kini sudah sangat basah, sampai akhirnya, “Buuudddhhyyyyyy…. aku mau keluar lagiiiiii… oooohhhhhh… aaahhhhh” teriakannya semakin kacau.
Aku memperhatikan dengan puas, saat dia mengejan seperti menahan sesuatu, vaginanya kembali banjir seperti saat dia orgasme di mulutku. Aku memang sengaja mengontrol diriku untuk tidak orgasme, hal ini aku pelajari dengan seksama, walaupun aku belum pernah melakukan ML sebelum itu. Bu Netty sendiri heran dengan kemampuan kontrol diriku.

Setelah dia melambung dengan orgasme-orgasmenya yang susul- menyusul, aku cabut kemaluanku yang masih perkasa dan keras. Aku memberinya waktu beberapa saat untuk mengatur nafasnya. Kemudian aku memintanya menungging, dia dengan senang hati melakukannya. Kembali kami tenggelam dalam permainan yang panas.

Sekali lagi aku membuatnya mendapatkan orgasme yang berkepanjangan seakan tiada habisnya, aku sendiri karena sudah cukup lelah, kupercepat gerakanku untuk mengejar ketinggalanku menuju puncak kenikmatan. Akhirnya menyemburlah spermaku, yang sejak tadi aku tahan, saking lemasnya dia dengan pasrah tengkurap diatas perutnya, aku menjatuhkan diriku berbaring di sebelahnya.

Sejak kejadian hari itu, aku sudah tidak lagi melakukan masturbasi, kami ML setiap kali kami menginginkannya. Ketika aku tanya mengapa dia memilihku, dia menjawab, karena aku mirip dengan pacar pertamanya, yang membuatnya kehilangan mahkotanya, sewaktu masih SMA. Tapi bedanya, katanya lagi, aku lebih tahan lama saat bercinta (bukan GR lho). Saat kutanya, apa tidak takut hamil?, dengan santai dia menjawab, bahwa dia sudah rutin disuntik setiap 3 bulan

Asmara Bersama Tante Tetty yang Sexy

Mmmmmmmmmhhhhhhhhhhh….” Gumamnya ditengah ciuman-ciuman kami. Tidak lama kemudian tangan kanannya mengambil tangan kiriku dan menuntun tanganku ke arah payudaranya, aku dengan cepat menanggapi apa maunya, kuremas-remas dengan lembut payudaranya dan kupilin-pilin putingnya yang mulai mengeras. “Mmmmhhhh….mmmmmhhhhh” Kali ini dia merintih nikmat. Aku usap-usap punggungnya, turun ke pinggangngya yang tidak tertutup oleh kaos T-shirtnya, aku lanjutkan mengusap dan meremas-remas pantatnya yang padat dan sexy, lalu kulanjutkan dengan menyelipkan jari tengahku ke belahan pantatnya, kugesek-gesek kearah dalam sehingga aku bisa menyentuh bibir vaginanya dari luar celana dalam yang dipakainya. Ternyata celana dalamnya sudah sangat basah. Sementara ciuman kami, berubah menjadi saling kulum lidah masing-masing bergantian, kadang-kadang tangannya menjambaki rambutku dengan gemas, tangannya yang lain melepas kancing baju sekolahku satu per satu. Aku melepas pagutanku pada bibirnya dan membantunya melepas bajuku, kemudian kaos dalam ku, ikat pinggangku, aku perosotkan celana panjang abu-abuku dan celana dalam putihku sekaligus. Bu Netty pun melakukan hal yang sama, dengan sedikit terburu-buru melepas kaos T-shirtnya yang baru dia pakai beberapa saat yang lalu, dia perosotkan celana dalam putihnya, sehingga sekarang dia sudah telanjang bulat.